Setan di Perlintasan


Jumat saya kelabu. Recent updates di ponsel pintar saya tiba-tiba menghitam. Di linimasa, orang-orang ‘memanjatkan’ doa. Saudara kami meninggal dunia.

Arradan Trengganala, mahasiswa jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bagian dari keluarga kami. Anggota baru keluarga kami. Kami bersedih. Adik kami, jiwanya terlepas, tulis orang-orang menyampaikan belasungkawa yang dalam. Berduka cita yang rasanya harus membuat mata kami basah lagi. Padahal air mata kami belum kering pasca kejadian nahas yang menimpa Annisa Azward, Februari lalu. Sekarang, kami berduka lagi.

Sumber:aanniss.blogspot.com
Sumber:aanniss.blogspot.com

Selama ini, saya melihat orang-orang yang dipanggil Tuhan pada hari Jumat adalah mereka yang dicintai penciptanya. Mereka dijemput pada hari yang baik. Hari yang mulia. Banyak rahasia pada hari ini, rahasia Tuhan. Banyak berkah, kata mereka yang percaya bahwa Jumat punya kemuliaan yang tak dimiliki hari lain. Doa-doa dikabulkan. Karena itu, saya jadi menyimpulkan Tuhan sayang kakek saya, Alm. Abdul Munaf. Beliau juga dipanggil pada hari Jumat, di hari kelahiran adik laki-laki saya yang bungsu, September 2002 silam. Berarti, saya kira, Tuhan sangat cinta pada Arradan sehingga menjemput dia dalam usia yang muda, di hari yang mulia.

Kematian Arradan memang membuat setiap kita merasa sedih tak tertanggungkan. Nyawa Arradan terenggut dengan cara yang tragis setelah menerobos palang perlintasan kereta. Siapa yang menyana, Kereta rel listrik (KRL) yang datang dari arah Jakarta menuju Bogor pagi itu yang akhirnya menutup usia Arradan. Kejadian itu terjadi di perlintasan Stasiun Pondok Cina (Pocin), Depok.

Mengetahui tentang tewasnya Arradan yang tragis itu, konon katanya, kereta itu menyeret Arradan dan motornya hingga 100 meter. Bulu kuduk saya tiba-tiba berdiri, membayangkan betapa menyeramkan sekali peristiwa itu. Pikiran saya kemudian dibawa melayang pada tempat kejadian. Perlintasan kereta Stasiun Pocin. Ya, tempat itu… tempat yang sering saya lalui bila saya hendak ke toko buku atau menjumpai teman saya yang kos di kawasan sana. Dan, kemudian saya merasa berkaca pada kejadian Arradan, persis yang saya tulis di situs berlambang burung biru: bahwa dari setiap peristiwa, saya memetik pelajaran. Peristiwa nahas yang menimpa Arradan, juga membuat saya memetik satu pelajaran tentang kesabaran.

sumber:depoklik.com
Di perlintan kereta Pondok Cina inilah, Arradan nekat menerobos sehingga kereta yang melintas dari Jakarta-Bogor luput dari perhatiannya. (sumber:depoklik.com)

Setan di perlintasan, seperti judul tulisan ini, hanya berusaha mengingatkan kita semua tentang pelajaran kesabaran. Sebab, saya merasa ada ujian tersendiri di situ, ujian yang sama juga bila berada di jalan raya. Menyebrang di rel kereta api atau di jalan raya, sama bahayanya. Sama-sama butuh kehati-hatian. Kalau tidak, nyawa bisa saja melayang. Di situ, kesabaran di pertanyakan dan diujikan. Sebab, ketika berada di jalan, kita selalu ingin bersegera, ingin cepat sampai di tujuan. Karena itu, sering saya melihat, sesama pengendara kadang lempar-lemparan umpatan kasar karena potong-memotong di jalan, tikung menikung, dan seterusnya. Pengendara wanita sering kali membuat pengendara lainnya terpancing untuk emosi. Kata-kata kasar terlontar begitu saja. Tidak hanya karena urusan ingin dahulu mendahului agar segera tiba, tetapi juga ujian untuk menghadapi tingkah laku berkendara yang kadang seenaknya, semaunya di jalan.

Ujian yang sama juga berlaku ketika berada di depan palang perlintasan kereta. Saya yang pedestrian, kerap kali merasa tergoda ketika baru saja palang turun pelan-pelan dan sirine meraung keras. Setan-setan di perlintasan mengganggu saya. “Menyebranglah, kereta masih jauh,” bisiknya. Saya harus berhadapan dengan bisikan-bisikan semacam ini. Berperang antara tetap berdiam, menunggu, bersabar dan ketergesaan. Saya kira, ajal yang memang sudah waktunya memanggil Arradan, terejawantahkan lewat ketidaksabarannya itu. Konon, setelah saya telusuri sana sini, banyak yang mengatakan kalau Arradan berpikir kereta yang lewat hanya kereta Bogor menuju Jakarta Kota. Sehingga ketika kereta dari Kota yang menuju Bogor sudah selesai melintas, ia mengira perlintasan sudah bisa dilewati dengan aman. Tapi, ia salah. Arradan tak mengacuhkan palang kereta yang belum naik ke atas, dan sirine yang masih meraung. Setan yang membisiki telinganya terlalu keras. “Kereta sudah lewat,” duga saya mengenai bisikan setan itu. Tapi, Arradan salah. Ternyata, ada dua kereta yang melintas, yang dari arah Jakarta menuju Bogor.

Saya kemudian terbayang, betapa kadang saya mengabaikan keselamatan ketika berada di depan perlintasan kereta. Di perlintasan yang ada palangnya, yang ditambah lagi bunyi sirine, masih saja ada kecelakaan semacam ini. Bagaimana dengan yang tanpa palang, seperti misalnya potensi ditabrak kereta ketika menyebang di rel gang senggol, yang menghubungkan para pedestrian menuju Depok Town Square. Di sana, selain para penjual sekitar rel, hampir tidak ada sesuatu yang bisa menyelamatkan nyawa kita selain kehatian-hatian sendiri. Lebih mencengangkan lagi, saat menyebrang di sana, masih ada yang saya lihat mereka-mereka yang merasa nyawanya ada duplikatnya, sehingga dengan santai menyebrang sambil mendengarkan musik dengan kuping yang ditutup headshet. Berani sekali! Kadang, ada yang menyebrang sambil bercanda. Karena itu juga, merasakan betapa harus berhati-hati dan perlu ada yang ‘mengingatkan’ saya merasa betapa mulianya penunggu palang kereta yang ada di depan Fakultas Hukum, yang konon katanya sengaja dibayar dengan iuran mahasiswa demi keselamatan mahasiswa Hukum khususnya yang sering bolak-balik di sana.

Saya tak bermaksud menuliskan obituari. Hanya ingin sedikit bercerita tentang apa yang saya ketahui kemudian tentang Arradan. Saya juga sempat bertemu teman satu jurusan Arradan dan dia banyak bercerita. Arradan anak pintar, saya yakin itu.  Anaknya juga pendiam, kata teman Arradan yang berasal dari tanah asal yang sama dengan saya. Teman saya itu ikut mengantarkan Arradan ke peristirahatan terakhirnya, mengamati suasana di rumah duka, di Jalan Cemara Raya RT 09 RW 013, Bakti Jaya Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.

Saya terpikir untuk menanyakan tanda-tanda yang muncul sebelum Arradan dipanggil. Saya jadi terbayang, perkatan terakhir yang sekaligus menjadi tanda-tanda ketika ibu saya meninggal dunia. Dia bilang kepada saya, “Mama mau pergi jauh,” kata Mama sebelum beliau meninggalkan saya dan dua adik saya yang kecil saat itu. Arradan juga sama. Teman saya di Psikologi, Welan, selalu melihat tanda-tanda orang yang meninggal dunia dari matanya yang sayu. Teman saya yang juga teman Arradan itu membantah. Matanya biasa saja, dia juga pakai kacamata, ceritanya. Tapi, ada sesuatu yang membuat semua kita terhenyak ketika membaca beberapa kicauan terakhir Arradan. Sedikitnya ada dua hal yang mungkin bisa dibilang tanda-tanda:

”@ArvadarT: I know, caught up in the middle. I cry, just a little when I think of letting go.” Kicauan tersebut, ditulis Arradan semalam, sekitar pukul 23.18 WIB.

Kemudian, mengenai kicaun tentang H-5 dia sebelum berangkat umrah. Konon, dikabarkan, Arradan berangkat umrah hari ini. ‘Bertamu’ ke rumah Tuhan bersama keluarga, namun Arradan tidak hanya bertamu untuk beberapa waktu, namun untuk selamanya. Tuhan memeluknya, ketika doa-doa dikirimkan semua orang.

Tanda lain adalah, seperti yang dikatakan teman saya, ada yang mengatakan ada hal yang berbeda dilakukan Arradan dibanding hari biasannya. Mengenai jalan yang ditempuhnya. Biasanya, untuk menuju kampus, Arradan melewati gerbang utama Universitas Indonesia, melalui fly over depan UI Wood. Namun, hari ini ia memilih jalan Pondok Cina. Cerita lainnya, Ibu Arradan dikabarkan tetap pergi umrah. Mungkin, karena ingin langsung bertemu Allah tentang kesedihan yang teramat sangat hari ini. Dan, sekali lagi, mungkin juga kenapa Ibu Arradan tidak begitu larut dalam duka, sebab saya yakin ia tahu, Allah menyayangi Arradan karena dijemput hari Jumat.

Saya ingin akhiri tulisan ini, dengan ingin membuat setiap kita lebih sabar lagi ketika berada di depan perlintasan kereta api. Baik yang dijaga atau tidak. Kehati-hatian yang utama ada pada diri sendiri. Saya kira, setiap kita, tak ada yang tidak menyayangi nyawanya sendiri kecuali mereka yang depresi hingga akhirnya memilih bunuh diri. Sebab, nyawa ini tidak bisa dibeli dengan cara apa pun. Abaikan saja setan di perlintasan. Sekian. (*)


2 tanggapan untuk “Setan di Perlintasan”

Tinggalkan Balasan ke Hessa Rizky Putra (@hessarizky) Batalkan balasan