SAYA masih terpaku dengan apa yang tertulis di layar komputer: Selamat Anda diterima di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Hari ini adalah pengumuman penerimaan mahasiswa Undangan, dan saya baru saja mendapati sebuah kabar yang beberapa tahun setelahnya betul-betul mengubah hidup saya.
Berkuliah di kampus ternama, boleh jadi mimpi besar bagi saya, seorang anak nelayan yang tinggal di daerah pinggir pantai di Kota Padang. Di tempat saya tinggal, tak sedikit anak-anak nelayan yang hidupnya berakhir seperti orangtua mereka. Mereka yang sarjana, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Namun saya bertekad tak akan berakhir di laut sebagai nelayan, seperti ayah. Saya punya mimpi.
Ayah saya bilang, โKejarlah dunia ini dengan pena,โ sebuah nasihat terpenting. Bagi ayah, pena adalah simbol kemapanan dan hidup layak. Ayah selalu terobsesi suatu hari melihat anaknya bisa bekerja kantoran dan mengubah kehidupan keluarga. Ini membuat saya terpacu, sampai saya berjuang menembus Sekolah Menengah Pertama bergengsi lalu melanjutkan di SMA 1 Padang, sekolah unggulan di Padang.
Pertengahan tahun itu, saya berangkat meninggalkan kampung halaman. Orang Minangkabau punya prinsip hidup merantau, apalagi bagi pemudanya. Jadi saya pikir, sekolah di Jakarta, meninggalkan kampung halaman adalah sebuah keharusan, untuk kemudian kembali suatu hari membangun kampung.
Saya tak punya keluarga dan kerabat dekat di Jakarta, namun saya tak pernah risau karena sudah memperhitungkannya semua matang-matang. Saya siap dengan risiko hidup jauh terpisah dengan keluarga. Saya membawa pakaian, satu kardus buku favorit, namun saya tak membawa banyak uang. Sempat risau, seorang anak rantau hidup di tanah orang namun dengan bekal uang pas-pasan. Ayah saya tak menyiapkan banyak uang pada hari keberangkatan itu, kecuali nasihat-nasihat dan sebungkus rendang untuk perbekalan makan minggu pertama. Namun ia berjanji, โBila cukup uang, ia akan mengirim sedikit uang.โ Saya hanya mengangguk, dan tak membahas bagaimana ayah saya bisa mengirimkannya karena ia jarang โbahkan tak pernah โ berurusan dengan bank.
Di hari pertama saya di Kampus UI Depok โsaya pernah ke tempat ini dua tahun sebelumnya, dan saat kedatangan itu saya mengatakan: suatu saat saya akan menjadi mahasiswa kampus ini, dan ini terjadi โ saya mengurus beasiswa. Keluarga kami tak akan pernah mampu untuk membayar biaya kuliah di UI yang mahal , setidaknya menurut perhitungan pendapatan ekonomi keluarga. Jadi, yang mungkin menyelamatkan saya adalah beasiswa. Saya mengikuti serangkaian seleksi beasiswa untuk mempertaruhkan semuanya: jika saya berhasil, saya tak perlu membayar sepeser pun hingga sarjana.
Saya hanya bermodal yakin dan sungguh-sungguh, sehingga seleksi itu berakhir dengan mudah dan berlangsung apa adanya. Panitia seleksi sempat menanyakan sesuatu dengan nada berseloroh, โBagaimana kamu berangkat ke kota ini dari Padang, tidak nyebrang di Selat Sunda kan?โ, saya bilang, โBila hanya itu satu-satunya cara untuk bisa sampai di UI, saya akan melakukannya,โ kata saya membalas, sehingga wawancara terasa sangat cair.
Saya melewati dengan mudah hari-hari pertama yang harusnya terasa berat itu. Saya mendapatkan beasiswanya, dan keluarga lega mengetahui kabar ini. Saya terbebas dari keharusan membayar biaya semester kuliah lima juta per bulan, dan menariknya, diberi biaya hidup (living cost) sebesar enam ratus ribu rupiah per bulan yang dikirimkan ke rekening enam bulan sekali lewat rekening. Jadilah, setiap penerima beasiswa membuka rekening dengan bank mitra kampus UI, Bank Negara Indonesia atau BNI yang membuka cabangnya di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Inilah kali pertama saya memiliki rekening pada Bank bertuliskan BNI46.
Di Padang, nama BNI46 ini sangat lekat, karena di Jalan Dobi, kantor Bank ini sempat terbakar dan sisa bangunannnya bertahan sekian tahun tanpa diperbaiki. Sementara untuk urusan menabung, saya mengikuti ibu yang setiap bulan mengantar kakek mengambil uang pensiun sebagai pejuang โ45, yang dialihwariskan kepada nenek, di sebuah bank milik pemerintah lainnya. Jadi sama sekali tak punya pengalaman apa-apa dengan BNI.
Kami, para penerima beasiswa harus bersabar karena baru menerima dana bulanan itu pada akhir semester. Sementara kami butuh biaya untuk membayar sewa tempat tinggal dan makan sehari-hari. Inilah saat yang mendebarkan, kami kerap bolak-balik mengecek rekening: dan berharap ada kiriman di sana. Saya tak punya harapan apa-apa selain menanti kiriman orangtua, namun saya juga tahu, meminta orangtua mengirimkan kiriman bulanan, itu sama sia-sianya seperti menimba air di laut. Dan, saya juga tak ingin orangtua terbeban. Tapi sekali waktu, saya harus mengatakan bahwa saya butuh kiriman. Ayah meminta tetangga kami yang sering berurusan dengan bank untuk mengirimkan sejumlah uang yang sanggup dikirim ayah. Tetangga itu juga tak punya rekening di BNI, sehingga dia meminta customer service BNI Cabang Kampus Universitas Negeri Padang mengirimkan ke rekening saya. Ah, lega. Akhirnya saya berhenti makan Indomie saat kiriman uang itu datang!
Selain kiriman orangtua yang sebenarnya tak pasti, ada satu โpenyelamatโ lainnya. Saya hobi menulis sejak kecil, dan rupanya hobi menulis itu “menyelamatkan” saya ketika saya dewasa. Sebetulnya, sejak di Padang, saya senang mengirimkan karya, entah itu puisi atau cerita pendek ke surat kabar atau majalah terbitan Jakarta. Jika dimuat, saya akan mendapat honorarium yang jumlahnya lumayan bagi seorang anak SMA. Bila dalam sebulan ada lima saja karya dimuat di media berbeda, saya bisa kantongi satu juta lebih.
Saat berkuliah di UI, hobi ini saya lanjutkan. Kadang, saat mengecek ATM BNI, saya mendapati saldo bertambah. Sekali waktu saya mengira ayah yang mengirimkan, namun rupanya tidak. Saya melacak pengirimnya, rupanya dari sebuah majalah ternama Ibukota. Sayangnya saya tak bisa produktif menulis karena semester awal kuliah sangat sibuk.
Semester kedua, semua mulai stabil. Saya mulai menikmati ritme kehidupan kampus sekaligus sebagai anak indekos perantauan. Saya tak menyia-nyiakan waktu terbuang percuma. Saya betul-betul memanfaatkannya dengan berbagai kegiatan positif. Saya mengikuti berbagai lomba dan berjanji menulis lebih banyak di media massa. Semester berikutnya, dan berikutnya lagi, saya tetap menggantungkan harapan pada beasiswa, namun sekarang saya sudah merasakan manisnya uang dari menulis. Namun di saat ini, orangtua saya mulai kesulitan mengirimkan uang, sehingga keadaannya sekarang terbalik. Saya yang harus mengirimkan uang untuk adik, karena saya punya tiga adik yang bersekolah, satu di SMA, satu di SMP dan satu lagi SD. Alamak, sekarang saya kebingungan bagaimana mengirimi mereka uang? Saya jadi ingat Paman saya yang seorang Kepala Sekolah di sebuah kota kecil di Sumatera Barat yang dulu berkirim wesel pos setiap kali mengirimkan uang bulanan untuk Ibunya —atau Nenek saya. Ibu saya yang sering menerima kiriman wesel itu masih menyimpan beberapa bukti sebagai kenangan. Tapi, di zaman dengan dunia perbankan super canggih ini, saya tak mungkin menggunakan wesel yang โjadulโ. Solusinya adalah menitipkan uang itu kepada teman semasa sekolah yang memakai BNI, dan meminta dia menyerahkannya pada adik saya.
Semester demi semester saya lalui. Kadang berat, kadang ringan. Meski sempat terseok-seok dengan keuangan pas-pasan, dan dengan beasiswa yang sering datang terlambat, saya akhirnya menyelesaikan kuliah dalam waktu tiga setengah tahun. Saya pikir akan sangat lama, namun malah sangat sebentar. Pada Februari 2015, saya wisuda. Saya lulus dengan predikit cum laude. Ayah dan Ibu saya datang pada hari paling membahagiakan dalam hidup saya itu.
Dan dari perjalanan panjang menggapai mimpi, saya sebenarnya tak (pernah) sendiri. Ada Tuhan yang selalu menjaga doa-doa saya. Ada orangtua yang melarang saya menyerah. Dan terakhir, ada seorang teman, bahkan perannya lebih dari seorang teman, karena telah menemani saya serta membantu menggapai mimpi, dialah: BNI.
Jakarta, Mei 2016
*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blogging #70TahunBNI dengan tema “Pengalaman Bersama BNI
42 tanggapan untuk “Teman Menggapai Mimpi”
Inspiratif ๐ semoga banyak anak rantau yg makin pantang menyerah abis baca Ini. Bahwa Kalo Dodi bisa , kenapa mereka nggak? Keep it up, bro!
Amin. Terima kasih ya Mel. Semoga pengalamanku berguna bagi anak rantau lainnya yang berjuang masuk UI atau menyelesaikan kuliahnya di UI –atau kampus lain.
Ah, salah satu mimpi saya yang tidak tersampaikan. Hahaha.
Inspiratif kak. Terima kasih sudah berbagi pengalamannya.
Thank you, ya Dicky. Mimpi lain masih banyak kan yang harus diwujudkan?
Iya tentunya, ngomong-ngomong saya juga kuliah jurusan ilmu komunikasi. Hehehe
KEREN, DOD! btw, ini Betry, hehe.
Eh Ibet kok jadi lapakbaca. Makasih ya Ibet Amak. Luv very much.
Sebagai orang yang menjadi saksi sepanjang di perkuliahan dan di dunia kerja, saya selalu bersyukur 5 tahun ini diberi kesempatan belajar banyak darimu. Semangat Dodi! Umur kita masih muda, masih banyak yang harus kita raih dan tuntaskan. Jangan lupa untuk berbagi ๐
Aku pun merasa beruntung ada teman yang berjuang seiring, dan untuk kesuksesan satu sama lain. Terima kasih Tuhan telah memilih kita sebagai sepasang teman —atau bahkan sahabat.
Luar biasa! Sukses…
Terima kasih Ica.
Dodii :”) terharu lho. Semoga sukses selalu ya dik, bangga sama kamu!
Terma kasih Kak Tiara… Terima kasih untuk selalu ada.
Semangat terus, ya, Dod! Tiap baca tentang kuliah jadi ingat masa-masa ngampus. :thumb:
Kal, ingat saat OKK di Balairung itu kan? Makasih Haikal untuk masa-masa yang amat berharga itu.
The story so touch ;), begitu menyentuh sekali saat membaca ceritanya, bagaimana bisa seorang anak bisa meraih gelar sarjana dengan beberapa faktor kekurangan yang dimiliki, banyak nilai- nilai yang dikutip dari cerita singkat ini, tentunya dapat menginpirasi juga bagi kalangan muda yang masih mengharapkan untuk meraih gelar sarjana.
Sukses selalu sdr Dodi Prananda.
Syukurlah jika bisa memetik sesuatu dari tulisan yang sebenarnya hanya potongan singkat dari perjalanan yang panjang… Trims Andre.
Sukses terus dod !
Mokasih Plo!
A nice story! Salam kenal. Saya salut dengan semangat juangnya. Saya juga baru tersadar, ternyata di jaman sekarang, masih banyak orang yang kesulitan untuk menempuh pendidikan tinggi. Sama sulitnya dengan jaman Bapak saya dulu mengkuliahkan kakak saya di tahun 90-an. Saya akan ceritakan kisahnya ke mahasiswa-mahasiswa saya, supaya mereka tidak malas-malasan belajar.
Btw, selamat artikelnya menjadi juara 1 lomba blog BNI.
Mas Dodi selamat ya
Tulisannya jadi juara satu ๐
Selamat ya menang, aku juga dulu dapat beasiswa dan terbantu banget dengan adanya beasiswa. kisahmu sangat inspiratif.
Selamat dodi, kamu menang lomba bni…tulisan kamu inspiratif bgt
Selamat om menang lomba Bni nya (y)
Selamat
Terima kasih Mas
BNI solusi perbankan, anti diskriminasi untuk setiap anak negeri.
Tulisan yang keren… sukses selalu Dodi Prananda…
Terima kasih Mbak Ira
Selamat ya sudah menang di lomba blogging BNI. Semoga sukses terus ke depannya
Terima kasih Bung Iqbal
Tulisannya menggugah sekali bang Dod….saya turut bangga ada urang awak yang bisa masuk UI dengan segala keterbatasannya, dapat predikat cum laude lg, saya juga anak rantau di Jakarta…
Sukses yo di rantau urang…jaan lupo jo kota Padang..
Mokasih Uni Ririn.. Sukses!
inspiring, thanks for sharing. Salam kenal
Terima kasih ya Baiq
Pertama, Selamat utk prestasimu dan semoga karyamu makin langgeng.
Kedua : Menyenangkan membaca artikel “cerita hidupmu”, mengigatkan saya masa merantau dan berjuang berguru ilmu di Yogya (perantau jg dr seberang), dengan segala pahit manisnya dalam menyelesaikan durasi sekolah. Semuanya berbuah manis bak madu. Sekali lagi selamat Dodi Pranada.
Terima kasih Mas
Terima kasih Bang
Sharing yang menyenangkan untuk dibaca. inspiratif. sukses terus ya. ๐
Selamat juga buat kemenangan artikel ini. Hehehe.
Terima kasih Mbak Ica…
haii bang, aku penggemarmu sejak banyak cerpenmu dimuat di koran lokal Sumatra barat, aku sangat menyukai ceritamu, dan akhirnya saya kepo cari tau ttg Abang, wahh selamat ya bang kuliah di UI dan lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude… ๐๐๐ btw bang, aku juga penerima beasiswa yang Abang maksud diatas cuman beda kampus… hehehehe… sukses selalu ya bang…
Hai Ririn, makasih ya sudah baca ceritaku, dan juga cerita hidupku. Kamu kuliah di mana? Sukses juga untukmu ya.